Muswil III AMAN, Misbawati Sampaikan Pasang Ri Kajang

Muswil III AMAN, Misbawati Sampaikan Pasang Ri Kajang
Andi Misbawaty, Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Bulukumba
Muswil III AMAN, Misbawati Sampaikan Pasang Ri Kajang

 

Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) melaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) ke-III di kawasan Karampuang Desa Tompo Bulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Berbagai kegiatan dilaksanakan sebagai rangkaian dari pelaksanaan Muswil, seperti seminar dan sarasehan terkait perkembangan masyarakat hukum adat di Provinsi Sulawesi Selatan.

Muswil yang berlangsung pada 25-27 November ini dihadiri oleh berbagai komunitas adat di Sulawesi Selatan dari berbagai wilayah seperti, Enrekang, Toraja, Maros, Bulukumba dan Sinjai. Pada pelaksanaan sarasehan yang digelar di Baruga Adat Karampuang, Senin 27 November, panitia mengundang Bupati Bulukumba sebagai narasumber untuk memaparkan prakter pembelajaran dari implementasi peraturan daerah tentang pengukuhan, pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Ammatoa Kajang. Bupati Bulukumba yang diwakili Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Misbawati A Wawo dipanel dengan perwakilan Pemkab Sinjai dan Pemkab Enrekang.

Dalam pemaparannya, Misbawati menyebut cikal bakal perda MHA Ammatoa Kajang merupakan inisiatif dari Pemerintah Kabupaten Bulukumba bersama dengan beberapa NGO dan pemerintah desa dan kecamatan. Setelah perda ditetapkan, tidak berhenti begitu saja, namun pihaknya menyusun keberlanjutan perda dengan membentuk Gugus Tugas yang berfungsi mengkoordinasi program kegiatan di berbagai OPD yang mendukung keberadaan MHA Ammatoa Kajang.

“Misalnya Dinas Pariwisata mendorong program ekowisata, Dikbud dengan pelestarian seni budaya, Dinas Kesehatan untuk penangangan penyakit dan Dinas Pertanian untuk memberikan bantuan alat mesin dan bibit pertanian,” beber Misbawati.

Menurut Misbawati yang berulang tahun pada hari itu, ada yang menarik di masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Mereka konsisten menerapkan prinsip yang tertuang dalam Pasang Ri Kajang yang secara turun temurun dipegang teguh masyarakat.

Sesuai Pasang Ri Kajang, lanjutnya, masyarakat Ammatoa Kajang meminta tidak perlu ada program penanaman pohon di dalam hutan, oleh karena menurut mereka, tanaman atau pohon akan tumbuh secara alamiah.

“Jadi fungsi hutan yang ada di sana (Kajang) 95 persen ekologi, hanya 5 persen ekonomi. Mereka hanya menebang pohon jika ada ritual adat yang akan dilaksanakan,” bebernya.

Dikatakannya, masyarakat adat Kajang lebih membutuhkan program bantuan pertanian untuk areal persawahan, seperti mesin dan bibit tanaman. Hasil pertanian dan peternakan inilah yang menghidupi kehidupan sehari-harinya, bukan dari hasil hutan adat yang sesuai SK Presiden seluas 313,99 hektare. Padahal sebelum menjadi hutan adat, hutan tersebut masuk pada wilayah hutan produksi terbatas.

Seperti apa Pasang Ri Kajang yang dianut oleh MHA Ammatoa Kajang, ini kutipannya :

PASANG RI KAJANG
Talakullei nisambei kajua, I yato’ minjo kaju timboa.
Talakullei nitambai nanikurangi botrong karamaka. 
Kasipali tauwa a’ lamung-lamung ri boronga. 
Nasaba’ se’re wattu larie tau anggakui bate lamunna

Tidak bisa diganti kayunya, Kayu itu saja yang tumbuh.
Hutan keramat itu tidak bisa ditambah atau dikurangi. Orang dilarang menanam di dalam hutan. Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.(A3/Humas)